Manusia lahir dalam keadaan yang rentan, bergantung pada orang tua dan lingkungan sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, anak-anak akan belajar untuk mandiri dan melepaskan ketergantungan pada orang lain. Mandiri merupakan kemampuan untuk bertanggung jawab atas diri sendiri tanpa tergantung pada orang lain.
Pada masa remaja, tuntutan untuk mandiri sangat besar. Jika tidak ditanggapi dengan baik, hal ini dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis remaja di masa depan. Banyak remaja yang merasa kecewa dan frustrasi karena kurang mendapatkan kebebasan untuk mandiri. Mereka merasa bingung dan kesal karena orang tua masih terlalu mengatur banyak hal dalam kehidupan mereka, meskipun mereka sudah berusia di atas 17 tahun.
Contohnya, dalam hal pemilihan jurusan di sekolah atau perguruan tinggi, masih banyak orang tua yang memaksa anaknya masuk jurusan yang mereka inginkan, meskipun anak tersebut tidak tertarik. Hal ini bisa membuat remaja kehilangan motivasi belajar, kehilangan semangat, bahkan berujung drop out dari sekolah.
Mencermati fakta tersebut, peran orangtua sangat penting dalam membentuk kemandirian anak. Orangtua diharapkan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan, mengambil inisiatif, membuat keputusan, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dengan begitu, anak dapat berkembang menjadi individu yang mandiri, tidak tergantung sepenuhnya pada orangtuanya.
Pertumbuhan kemandirian, seperti halnya aspek psikologis lainnya, dapat berkembang dengan baik melalui latihan yang terus menerus, dimulai sejak usia dini. Latihan tersebut bisa berupa memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan sendiri tanpa bantuan, yang tentu disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.
Karena kemandirian memiliki dampak positif pada perkembangan individu, sebaiknya anak diajarkan kemandirian sejak dini sesuai dengan kemampuannya. Seperti diketahui, hal-hal yang diajarkan sejak usia dini akan lebih mudah dipahami dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu, latihan kemandirian harus disesuaikan dengan usia anak.
Sebagai contoh, untuk anak usia 3-4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan mereka memasang baju sendiri, merapikan mainan setelah bermain, dan sebagainya.
Untuk remaja, memberikan kebebasan dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminati atau memberikan kesempatan pada mereka untuk menentukan jam pulang ketika berada di luar malam bersama teman-temannya adalah hal yang penting. Orangtua perlu mendengarkan alasan yang disampaikan oleh anak-anak mereka terkait keputusan yang diambil. Dengan memberikan latihan semacam itu, diharapkan kemampuan remaja untuk berpikir secara objektif akan semakin berkembang seiring bertambahnya usia. Mereka akan belajar untuk tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, dan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat.
Kemandirian psikologis merupakan hal yang penting bagi remaja. Mereka perlu belajar untuk membuat rencana, memilih alternatif, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Melalui proses ini, remaja akan dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya. Ahli perkembangan juga menyatakan bahwa kemandirian pada masa remaja lebih fokus pada aspek psikologis, seperti kemampuan membuat keputusan sendiri dan berperilaku sesuai dengan keinginan mereka. Dengan memberikan ruang untuk kemandirian ini, diharapkan remaja dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.
Dalam proses pencarian identitas diri, remaja seringkali merasa perlu untuk mengurangi ketergantungan mereka pada orangtua secara bertahap, mereka menginginkan perlakuan yang sama seperti orang dewasa dan dihargai atas pemahaman mereka. Menurut Erikson (1992), fase ini disebut sebagai "proses pencarian identitas ego", di mana remaja ingin mengetahui peran dan posisinya dalam lingkungan sekitar serta ingin memahami diri mereka sendiri.
Kemandirian remaja juga dipengaruhi oleh interaksi sosialisasi dengan teman sebaya. Hurlock (1991) menekankan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar untuk berpikir secara independen, membuat keputusan sendiri, serta menerima atau menolak nilai-nilai yang diterima dari keluarga. Mereka juga belajar pola perilaku yang diterima dalam kelompok mereka, di mana teman sebaya menjadi lingkungan sosial pertama di mana remaja belajar untuk hidup bersama orang lain di luar keluarga. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk diterima dan diakui oleh teman sebayanya untuk menciptakan rasa keamanan. Penerimaan dari kelompok teman sebaya sangat penting karena remaja membutuhkan dukungan dan keyakinan untuk merasa diterima dalam kelompok mereka.
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri, seringkali remaja mengalami rintangan yang disebabkan oleh kebutuhan untuk tetap bergantung pada orang lain. Remaja memiliki dilema besar antara mematuhi keinginan orang tua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia memilih untuk patuh pada keinginan orang tua, maka ia akan terjamin secara finansial karena orang tua pasti akan membantunya sepenuhnya. Namun, jika ia tidak mengikuti keinginan orang tua, orang tua mungkin tidak akan membiayai sekolahnya. Situasi ini seringkali membuat remaja merasa bingung dan menimbulkan konflik internal.
Konflik tersebut dapat mempengaruhi usaha remaja untuk mandiri dan seringkali menghambat penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa kasus, remaja bisa merasa frustrasi dan marah terhadap orang tua atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi dan kemarahan ini seringkali diekspresikan melalui perilaku yang tidak baik terhadap orang tua maupun orang lain, bahkan bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Hal ini bisa merugikan remaja tersebut dalam mencapai kedewasaan dan kematangan psikologis.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami kebutuhan psikologis remaja dalam usaha mereka untuk mandiri. Ini akan membantu menemukan jalan tengah dalam menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi remaja.
0 Komentar