Instagram Youtube

Breaking News

Kecerdasan dan tingkat kecerdasan intelektual (IQ)


Menurut "David Wechsler", inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara umum, inteligensi merupakan kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak bisa diamati langsung, melainkan harus disimpulkan dari tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional tersebut.


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi inteligensi. Salah satunya adalah faktor bawaan atau keturunan. Penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi nilai tes IQ antara anggota keluarga, sehingga nilai tes IQ antara dua anak kembar sangat tinggi. Selain itu, anak yang diadopsi juga menunjukkan korelasi IQ yang lebih tinggi dengan orang tua kandungnya daripada dengan orang tua angkatnya. Bahkan anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap memiliki korelasi IQ yang tinggi, meskipun mereka tidak saling kenal.

Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, namun lingkungan memiliki kemampuan untuk menyebabkan perubahan-perubahan yang signifikan. Kecerdasan tidak dapat dipisahkan dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, stimulasi kognitif dan emosional dari lingkungan juga memainkan peran yang sangat penting.

Kecerdasan dan IQ
Seringkali orang mengartikan kecerdasan sebagai IQ, padahal kedua istilah ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Kecerdasan telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan IQ atau Intelligence Quotient adalah skor yang diperoleh melalui tes kecerdasan. Oleh karena itu, IQ hanya memberikan sedikit petunjuk tentang tingkat kecerdasan seseorang dan tidak sepenuhnya mencerminkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.

Skor IQ awalnya dihitung dengan membandingkan kemampuan mental seseorang (Usia Mental) dengan usia sebenarnya (Usia Kronologis). Jika kemampuan individu dalam menyelesaikan tes kecerdasan (Usia Mental) sama dengan yang seharusnya dimiliki individu sebaya (Usia Kronologis), maka skor yang diperoleh adalah 1. Nilai tersebut kemudian dikalikan dengan 100 dan digunakan sebagai dasar perhitungan IQ. Namun, masalah timbul ketika perkembangan otak mencapai kematangan dan tidak mengalami peningkatan lebih lanjut, bahkan pada titik tertentu, kemampuan individu bisa mengalami penurunan.

Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, dua psikolog asal Perancis, merancang alat evaluasi untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes ini dikenal dengan sebutan Tes Binet-Simon dan kemudian mengalami revisi pada tahun 1911.

Pada tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog Amerika, melakukan banyak perbaikan pada tes Binet-Simon. Kontribusi utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang mengukur kecerdasan sebagai perbandingan antara usia mental dan usia kronologis. Perbaikan ini menghasilkan Tes Stanford-Binet. Indeks ini sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Jerman bernama William Stern, yang lebih dikenal dengan istilah Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak hingga usia 13 tahun. Salah satu kritik terhadap tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes tersebut terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman, mengusulkan bahwa kecerdasan bukan hanya terdiri dari faktor umum saja, tetapi juga terdiri dari faktor-faktor spesifik yang berbeda. Konsep ini dikenal sebagai Teori Faktor Kecerdasan. Instrumen tes yang dikembangkan berdasarkan teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.

Selain alat tes yang telah disebutkan di atas, banyak pengembangan alat tes dilakukan dengan tujuan yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan dan budaya di mana alat tes tersebut digunakan.

Inteligensi dan Bakat merupakan konsep tentang kemampuan umum individu dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam kemampuan umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang sangat spesifik. Kemampuan-kemampuan spesifik ini memberikan individu kondisi yang memungkinkan mereka untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, atau keahlian tertentu setelah melalui latihan. Hal ini dinamakan Bakat atau Aptitude, karena tes inteligensi tidak dirancang untuk mengungkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat dengan langsung diketahui melalui tes inteligensi.

Alat yang digunakan untuk mengungkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk memperlihatkan prestasi belajar dalam bidang tertentu disebut Scholastic Aptitude Test, sementara untuk bidang pekerjaan disebut Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Sebagai contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan untuk Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory dapat dilihat dari Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas adalah salah satu ciri dari perilaku yang inteligent karena kreativitas juga merupakan hasil dari proses kognitif. Meskipun begitu, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti yang memuaskan. Meskipun mungkin ada pandangan bahwa kreativitas berkorelasi dengan inteligensi secara linear, namun hasil penelitian tidak sepenuhnya mendukung hal tersebut. Meskipun skor IQ rendah cenderung diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah, namun tidak selalu demikian sebaliknya. Ada korelasi yang cukup kuat hingga pada skor IQ tertentu, namun di atas itu, hubungan antara IQ dan tingkat kreativitas tidak lagi terlihat jelas.

Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa hal ini terjadi. Menurut J. P. Guilford, kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yang artinya kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya didesain untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian dalam pengembangan proses berpikir divergen dalam pendidikan tradisional, padahal kemampuan ini sangatlah penting dalam mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan.

0 Komentar